top of page

FACEBOOK

PRODUK KAMI

MINYAK ATSIRI SEREH DAPUR

Membantu mengatasi dermatosis (masalah kulit) seperti eksem, mikosis, herpes (mulut dan kelamin) Melawan selulit (kelebihan lemak tubuh).

Kemping Ekologi: Tiga Hari Belajar Hidup Bersama Alam


ree

Divisi Edukasi baru saja menggelar Kemping Ekologi ke-5 bersama adik-adik kelas 7 SMPN SATAP Kurubhoko di Kali Wulabhara. Selama tiga hari, 29–31 Agustus 2025, mereka diajak tinggal di alam terbuka, belajar dasar-dasar berkemah, sekaligus mengenal lebih dekat ekosistem yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Sejak pertama kali diadakan, Kemping Ekologi telah menjadi ruang belajar rutin untuk menanamkan kepedulian lingkungan dengan cara sederhana dan menyenangkan.

 

Begitu tenda-tenda berdiri, kegiatan dimulai dengan menjelajah sekitar. Anak-anak mencatat berbagai tanaman, serangga, dan pohon yang mereka temui, seolah menjadi peneliti kecil dengan buku catatan lapangan di tangan. Dari sana, mereka kemudian belajar mengenali burung-burung Flores, satwa endemik yang jarang terlihat dari dekat namun memiliki peran penting dalam keseimbangan ekosistem hutan.

 

Menjelang sore, suasana menjadi lebih reflektif. Anak-anak diajak merenungkan siklus kehidupan melalui tema sederhana: “Aku adalah daun yang gugur.” Nestor Alexander Djori, yang dengan jujur menuliskan:

 

“Aku hanyalah daun kering, aku tak berdaya dan jatuh kemudian seiring waktu aku diurai kemudian datanglah serangga dan cacing, bakteri jamur, dan seiring waktu aku mulai terurai dan semakin hancur. Aku telah melewati semuanya dan kemudian aku pun kini menjadi humus. Aku merasa bangga karena aku menjadi humus, yang akan menumbuhkan generasi baru dan begitulah kehidupan, aku sebagai daun yang tumbuh kemudian gugur dan terurai. Sekian kisah dari saya.”

 

Malam pertama diisi dengan petualangan kecil: anak-anak diajak memecahkan teka-teki tentang pohon di tiga pos tantangan, lalu belajar tentang hewan nokturnal yang aktif di malam hari. Observasi sederhana ini membuka mata mereka bahwa hutan tetap hidup meski gelap melingkupi. Saat menengadah ke langit, mereka melihat bulan sabit dengan ujung menghadap ke arah timur. Dalam tradisi, posisi itu sering dianggap sebagai tanda datangnya awal yang baru, sementara secara astronomi ia menandai fase bulan muda yang terbit menjelang fajar. Di sekitarnya, rasi Skorpio dan Sagitarius tampak jelas bintang-bintang musim Mei–Agustus yang menegaskan bahwa langit malam adalah ruang belajar yang luas.


ree

 

Hari berikutnya, perjalanan berlanjut dengan hiking menuju Mata Air Kusi. Di sana, anak-anak tak hanya menikmati sejuknya air, tetapi juga belajar menjaga kebersihan sumber kehidupan itu. Mereka membersihkan sampah yang ada, lalu mengamati vegetasi sekitar yang masih asri dengan pohon-pohon besar dan hamparan rumput. Salah satu peserta, Markus Anis, menuliskan pengalamannya:

 

“Saya senang sekali ketika kami semua pergi ke mata air Kusi, karena kami melihat vegetasi sekitar dan masih banyak pohon besar di sekitar mata air. Masih banyak rumput kecil, daun kering. Kami hanya menemukan sedikit sampah dan kami bersama-sama membersihkannya. Kami juga berkelompok pergi ke Pos Tantangan, kami bermain bola, menyalakan api unggun, dan minum bir pletok.”

 

Dari sana, anak-anak belajar lagi tentang tanaman obat warisan pengetahuan dari orang tua dan kakek-nenek mereka. Dedaunan yang bisa meredakan batuk, akar untuk menurunkan panas, hingga ramuan sederhana untuk luka kecil. Semua itu adalah bentuk kearifan lokal yang menjaga manusia tetap dekat dengan alam.

 

Malam kedua menjadi puncak keakraban. Api unggun dinyalakan, lingkaran anak-anak terbentuk. Mereka membaca puisi, menyanyi, dan berbalas pantun. Bir pletok pun dibagikan, minuman tradisional khas berbahan jahe, serai, kayu sepang, kayu manis, cengkeh, dan kapulaga. Rasanya hangat, manis-pedas, sekaligus segar, sangat pas menemani suasana dingin perkemahan.

 

Hari terakhir ditutup dengan refleksi bersama. Anak-anak diajak menuangkan gagasan mereka ke dalam poster-poster sederhana bertema kebakaran hutan, sebuah isu yang nyata mereka hadapi sehari-hari. Dari poster itu terlihat bagaimana mereka mulai memikirkan peran kecil yang bisa dilakukan: tidak membakar kebun sembarangan, menjaga hutan dari api, dan mengingatkan orang dewasa di sekitar mereka. Setelah itu, rombongan berkemas dan pulang, membawa pengalaman yang melekat lebih dari sekadar tiga hari perkemahan.

 

Kemping Ekologi ke-5 ini meninggalkan kesan bahwa belajar tentang alam tidak selalu harus dengan buku pelajaran. Hutan, air, langit malam, bahkan dedaunan yang gugur pun bisa menjadi guru. Bagi anak-anak, kegiatan ini adalah cara menyadari kembali bahwa hutan adalah ruang hidup yang menyimpan cerita, pengetahuan, dan masa depan. Bagi Divisi Edukasi, kegiatan ini adalah langkah kecil menanamkan kesadaran ekologis sejak dini dengan cara yang sederhana, menyenangkan, dan membumi.

Komentar


POSTINGAN TERBARU

Yayasan Puge Figo
Yayasan Puge Figo
Yayasan Puge Figo
Logo Yayasan Puge Figo Putih

DIBALIK POHON, MANUSIA

DAPATKAN NOTIFIKASI ARTIKEL
DAN BERITA KAMI

Terimakasih! Nantikan berita dan artikel Puge Figo

SOSIAL MEDIA 

  • Instagram
  • Facebook
  • Youtube
  • Whatsapp
ornamen dekoratif footer yayasan Puge Figo

© 2025, Divisi Komunikasi | Yayasan Puge Figo Made With Love 💖

bottom of page